Suami istri ini mantan TKI. Susanto menghabiskan 4 tahun masa kerjanya di Johor Bahru, Malaysia. Tahun 1999 dia bekerja di pabrik. Selain kerja, juga aktif sebagai muazzin di surau dekat hostel-nya.
Surene Tarigan masuk Malaysia tahun 2001. Tinggalnya berdekatan dengan rumah Susanto. Setiap kali mendengar Susanto azan, ada getaran yang kuat di hatinya. Ingin tahu siapa pemilik suara merdu itu. Batinnya berkata kuat, ia pasti lelaki bertanggungjawab.
Melalui seorang kawan, mereka pun berkenalan. Dilanjutkan berjanji untuk hidup bersama. Tahun 2002 mereka pulang kampung dan melangsungkan pernikahan.
Kini Susanto dan keluarga tinggal di Dusun Namorambe, Kelurahan Mekar Jaya, Kecamatan Sei Bingei, Langkat. Sebuah daerah pedalaman di Sumatera Utara. 40 menit dari Kota Binjai. Dari pernikahannya, mereka dikaruniai 4 anak. Dua lelaki dan 2 perempuan.
Rumahnya berdinding tepas, berlantai tanah. Tak ada plafon. Panasnya hawa seng langsung menusuk siapa saja didalamnya. Didepan rumahnya tertulis label “Keluarga Sangat Miskin” oleh Kementerian Sosial.
Kemiskinan harta tak lantas membuat Susanto miskin aqidah. Tekadnya membangun masjid sangat kuat. Atas inisiatifnya, telah berdiri Masjid Al Ikhlas didepan rumahnya.
Berdiri masjid saja tidaklah cukup. Mengundang masyarakat untuk menyemarakkan masjid juga menjadi tanggung jawabnya. Setiap waktu sholat tiba, berganti-gantian anak lelaki Susanto menjadi muazzin. Anak-anak yang taat. Tak jarang waktu sholat zuhur dan ashar hanya bapak dan anak-anak ini yang berjamaah. Jam segini orang kampung sibuk di ladangnya. Rata-rata masyarakat disini bekerja di kebun sawit orang. Sambilan juga mereka punya ladang sendiri.
Saat maghrib tiba, tiga puluhan anak-anak kampung berdatangan mengaji. Sebelum corona tiba, setiap hari ada kelas. Susanto ustadznya dan Surene ustadzahnya. Anak sulung mereka yang sudah baligh diajak mengajar juga. Untuk mengamankan anak-anak lain supaya tertib, menjadi tugas anak lelaki nomor dua. Lumayan, badan anak Susanto subur-subur, membuat anak-anak lain takut pada mereka.
* * *
Label miskin tak lantas membuat mereka mengemis. Kedatangan kami disambut dengan sajian makanan yang beragam. Surene memasak ikan mas kuah asam, tauco kacang panjang, sambal tempe, gulai terong. Tak lupa lalap jengkol. Semuanya dimasak segera. Dihidangkan saat masih panas. Semuanya untuk memuliakan tamunya.
Kehangatan keluarganya sangat terasa. Anak-anak dilibatkan menghidang makanan dan minuman. Sesekali terdengar suara lembut Susanto mengingatkan, “Cuci tangannya jangan lupa ya nakku.” Khas logat Karo. Sebenarnya Susanto ini keturunan Solo. Lahir dan besar di Dumai. Tapi keluwesannya tertempa dari pengalaman merantau.
* * *
Semarak ‘idul adha tak dirasakan setiap tahun dikampungnya. Terkadang ada qurban, terkadang tidak.
Tahun 2018 Ulil Albab pernah menyalurkan qurban dikampungnya. Ketika ditawari kembali di tahun 2019, Susanto menolaknya dengan halus. Ternyata masyarakatnya sudah berinisiatif mengumpul duit sendiri. Seorang diantara mereka ditunjuk sebagai bendahara. Selama setahun mereka mencicil duit, menargetkan harus mampu qurban sendiri.
Karakter Susanto melekat dimasyarakatnya. Miskin harta bukan lantas menjadi miskin jiwa. Rasa malu meminta-minta dan tangan dibawah sudah menjadi darah dagingnya. Kita berharap dari mental begini akan terbangun bangsa beradab, disegani kawan, ditakuti lawan. Ulil Albab selalu hadir mencari sosok-sosok Susanto melalui qurban pedalamannya.
Oleh : Danil Junaidy Daulay
0 Comments