Saat bertolak dari Kota Medan, waktu sudah menunjukkan pukul 17 Wib. Tujuan rombongan tim medis Ulil Albab adalah menuju Dairi. Estimasi waktu perjalanan sekitar 7 jam. Tim menaiki dua mobil.
Setelah beberapa jam menempuh perjalanan, diselingi singgah makan malam, menembus sunyinya malam, lewat tengah malam, tim tiba di titik pemberhentian awal, Desa Gunung Sitember.
Setelah istirahat sejenak, tim harus berganti mobil. Rute lanjutan yang harus dilewati adalah jalanan berbatu, curam dan terjal, maka harus berganti kendaraan dengan mobil Hardtop, yang dikenal bandel dan tahan menghadapi medan seperti itu.
Malam itu, aroma petualangan begitu terasa. Selain gerimis, sepanjang ditempuh gelap, tidak ada lampu jalan. Jalan juga sempit. Tidak boleh berpapasan 2 mobil, harus ada yang mengalah.
Mobil yang disupiri Lamhot Sinaga, warga setempat, adalah mobil bak terbuka, yang biasa digunakan untuk mengangkut hasil panen ladang. Di bak belakang mobil itulah, berdiri bersempit-sempitan 13 anggota tim yang besok paginya akan bertugas. Akhirnya setelah melewati perjalanan seru dan heroik, pukul 2 dini hari tim tiba di Desa Buluh Mengkal. Suasana sepi. Tim hanya disambut lolongan anjing.
Rombongan bermalam di 2 tempat. Yang putri di salah satu rumah warga. Sedangkan rombongan putra di masjid. Sayang, masjid tidak terawat, berdebu, dan kamar mandi tak layak pakai. Bagaimanapun, tim harus bersabar dengan kondisi itu. Acara esok, yang dilaksanakan di masjid, harus berjalan sebaik mungkin.
Keesokan hari, 17 Desember 2017, seusai sarapan di rumah warga, tim bersiap. Peserta terdaftar 35 anak. Ternyata hadir hanya 19 orang. Lainnya, ada yang batal ikut karena takut. Ada pula yang terpaksa membatalkan, dengan alasan lokasi khitanan yang jauh dan sulit ditempuh warga desa lain.
Banyak peserta khitan yang hadir seorang diri tanpa ditemani orang tua. Alasannya, orang tua mereka sibuk berladang, dan kebetulan sedang sibuk memanen hasil tanaman.
Bermacam tingkah peserta. Ada anak usia 10 tahun menangis ketakutan saat akan dikhitan. Repotnya, anak itu tidak dapat berbahasa Indonesia. Dokter sudah berusaha membujuk. Tapi sulit, karena ia tidak mengerti yang disampaikan dokter. Akhirnya, setelah seorang warga ikut bujuk, anak itu dapat tenang.
Dokter Reza, anggota tim, punya pengalaman unik lain. “Saya nangani remaja 13 tahun. Awalnya ia takut. Udah naik meja terus turun lagi. Waktu mau dibius tiba-tiba sarungnya ditutup lagi. Saya coba terus bujuk. Akhirnya dia mau disunat dengan satu syarat. Syaratnya, saya harus mengajak bicara dari awal sampe selesai. Terpaksa saya iyakan syarat itu. Akhirnya, entah apa-apa aja saya obrolin sama anak itu. Alhamdulillah, dia gak takut bahkan berani liat proses sunatnya,” cerita Dokter Reza, sambil tersenyum.
Tidak mudah memang untuk menebar dan membentang kebaikan, apalagi hingga ke sudut-sudut bumi yang terkadang untuk menyebut nama daerahnya, begitu sulit dilafalkan. Belum lagi kesulitan terkait minimnya fasilitas atau sarana. Namun, jiwa tulus yang dibalut keikhlasan hati, insya Allah akan menjalaninya dengan serba ringan. Bahkan menikmatinya dengan kegembiraan
0 Comments