Masjid Al-Mustaqim, Desa Namobatang, Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deli Serdang, adalah salah satu lokasi kegiatan Ramadhan Di Kampung (RamPung), yang merupakan salah satu rangkaian kegiatan Berkah Ramadhan 1439 H Ulil Albab.
Ada 2 relawan Ulil Albab yang bertugas disini. Arib Nurmansyah (Arib) dan Suci Duarta Tanjung (Arta). Dari awal bertugas hingga selesai, kedua relawan mendapatkan banyak kesan yang luar biasa.
Apalagi bagi Arta. Sebenarnya, awalnya walaupun sudah mendaftar, karena kuota relawan sudah mencukupi, ia tidak termasuk dalam daftar yang akan diberangkatkan mengawal program RamPung.
Namun, di hari H pengiriman relawan, mitra yang harusnya menemani Arib menyatakan mundur karena alasan tertentu. Akhirnya Arta pun mendadak dipanggil untuk segera siap bertugas mulai 28 Mei hingga 1 Juni 2018.
Pria muda ini adalah santri yang baru saja menamatkan pendidikan di Pesantren Musthafawiyah Purba, Tapanuli Selatan. Saat ini ia tinggal bersama orangtuanya di Medan Helvetia.
Saat tiba-tiba ditelpon panitia di hari H keberangkatan, perasaan Arta campur aduk. Saat itu ia sendirian di rumah. Ia sempat kebingungan. Bagaimana tidak? Karena tidak memiliki pulsa, HP nya tidak dapat digunakan menghubungi siapapun. Kantong juga sedang kosong. Bersyukur, ada sepupu dekat rumah, yang sudi meminjamkannya uang untuk sekedar ongkos menuju kantor Ulil Albab sebagai tempat titik kumpul keberangkatan.
“Innamal a’malu binniat,” ucap calon mahasiswa UINSU itu. Dasar, memang keinginannya cukup kuat untuk ikut menjadi relawan. Jadi, sekalipun awalnya ditolak, akhirnya justru ia menjadi solusi terhadap kekurangan relawan.
Lokasi tugas Arta dan Arib memang yang paling terdekat dari Medan. Namun objek dakwah yang dihadapi sama prihatinnya dengan lokasi Rampung di pelosok lainnya. Masjid Al-Mustaqim diramaikan oleh jama’ah warga setempat yang masih boleh dikategorikan muallaf. Mereka kebanyakan menjadi muallaf, disebabkan pernikahan.
Masih banyak pekerjaan warga terkait dengan pengolahan nira menjadi tuak (sejenis minuman keras lokal). Bahkan, tidak jarang, ada diantara mereka melaksanakan shalat setelah minum tuak di warung dekat masjid.
Hari pertama tiba di Namobatang, kedua relawan sudah mendapatkan kesan awal yang sulit dilupakan. Dikejar anjing saat mencari rumah kepala desa.
Selesai bertemu kepala desa sekaligus mohon izin 5 hari menginap di masjid, kedua pejuang ini mulai laksanakan tugasnya. Menjadi imam 5 shalat fardhu dan tarawih, mengajar anak-anak mengaji, dan menyampaikan tausiyah ba’da isya.
Melalui Jumirin, penjaga Masjid Al-Mustaqim, didapat informasi, ada 40 keluarga muslim di Namobatang. Karena kurangnya pembinaan, tidak banyak yang rajin hadir memakmurkan masjid. Alhamdulillah, belasan anak muslim setempat antusias dengan kehadiran relawan.
Saat diperdengarkan, bacaan al-Qur’an anak-anak itu lumayan bagus. Ternyata, ada seorang guru yang sering mengajar mereka. Namanya Fauzi. Ia satpam di satu perusahaan swasta di Medan. Ia melakukan itu dengan inisiatif sendiri. Tidak ada dukungan dari pihak manapun. Ia hanya merasa memiliki tanggung jawab mengajarkan Qur’an kepada anak-anak di kampung.
Disisi lain, ada hal yang miris dan mengkhawatirkan. Sudah bertahun anak-anak muslim itu tidak mendapatkan pelajaran Islam di sekolahnya. Anak-anak terpaksa mengikuti pelajaran agama lain. Saat mereka ditanya rukun iman dan Islam, anak-anak tidak ada yang tahu.
Menjelang akhir tugas, kepada relawan Fauzi meminta agar dapat sering mengunjungi Namobatang. Mengajarkan Islam kepada anak-anak. “Guru agama Islam mereka sudah pensiun. Jadi sekarang mereka gak punya guru agama. Saya di masjid ini pun sudah sulit sekali membagi waktu untuk mengajari mereka mengaji. Saya kerja di Medan dan sering pulang malam,” jelas Fauzi.
Setelah menyelesaikan tugas dan kembali ke Medan, beberapa hari kemudian Fauzi menelepon Arta. “Anak-anak nangis saat kalian pulang, katanya rindu belajar di masjid,” ucap Fauzi dengan suara tercekat
0 Comments