Info > News

Melanjutkan Kebiasaan Baik

Jun 24, 2019 | Sharing, Ulil Albab | 0 comments

Sebulan ditempa dengan rutinitas disiplin kebaikan, harusnya sudah cukup ideal untuk membuat kita menjadi terbiasa juga menjalankan aneka amal ibadah yang sama di luar Ramadhan.

Bila di luar Ramadhan, sulit untuk mendisiplinkan puasa sunnat, atau shalat 5 waktu berjamaah ke masjid, atau menegakkan shalat qiamul lail, atau tilawah al Quran, atau berinfak, atau mendirikan shalat dhuha, atau bangun bersiap sebelum subuh, ternyata insya Allah semua itu bisa dijalankan dengan disiplin selama Ramadhan.

Selanjutnya, bagaimana memotivasi diri agar istiqomah menjalankan hal yang sama, di 11 bulan yang lain? Pastinya, tidak semestinya dan patut disayangkan, bila motivasi ibadah dilakukan hanya sesaat di waktu tertentu saja.

Membandingkan dengan ucapan seorang ulama, cukup pas bila diistilahkan dengan kalimat “Jadilah Rabbaniyyin, dan jangan menjadi Ramadhaniyyin.” Maksudnya, jadilah hamba Rabbani yang rajin atau istiqomah beribadah di setiap bulan dan tahun, tidak hanya pada bulan Ramadhan saja.

Seseorang pernah bertanya pada Ummul Mukminin ‘Aisyah mengenai ibadah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” Ibunda ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Begitulah Rasulullah mengajarkan pada kita. Kebiasaan baik itu harus melekat dan menyatu dengan keseharian kaum muslimin. Tidak bergantung pada waktu, tempat, atau situasi apapun.

Yang menjadi permasalahan, banyak diantara kita yang masih sulit untuk mempertahankan kebiasaan baik yang sudah susah payah dimulai. Berbagai alasan mengiringi terciptanya kondisi tersebut. Baik yang diakibatkan pengaruh internal diri, maupun eksternal.

Pengaruh internal, kebanyakan terkait dengan ketidakmampuan diri untuk menghindar dan menjauh dari kemaksiatan dan dosa. Keseringan terjebak dalam pengaruh negatif, pasti perlahan akan menggerus nilai-nilai kebaikan yang sekian lama berusaha dibangun.

Sementara untuk eksternal, tidak dapat dipungkiri, lingkungan sangat signifikan mempengaruhi pembentukan nilai atau identitas diri. Saat sekeliling kita menjalankan berbagai ibadah di Ramadhan, kita pun ikut bersemangat untuk menjalankan kebaikan yang sama. Energi positif dari sekeliling, sangat bisa mempengaruhi seseorang untuk mendapatkan energi positif yang sama.

Lebih dari itu, penting untuk diperhatikan perkataan ulama salaf sebagaimana dikutip Ibnu Rajab, “Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan, namun malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka itu adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.”

Merujuk perkataan ulama di atas, tentu pantas untuk kita khawatir, bahwa di saat kerja keras menjalankan amalan ketaatan di Ramadhan, dan sesudah itu tidak dilanjutkan dengan sungguh-sungguh, maka semua itu, cuma mengindikasikan tidak diterimanya amalan-amalan itu alias ditolak.

Oleh karena itu, patut diingat ulang sabda Rasulullah, “Wahai sekalian manusia, lakukan amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu walaupun sedikit.” (HR. Muslim)

Menjaga ritme, sekaligus istiqomah. Itulah salah satu kuncinya. Tidak perlu menggebu-gebu di awal, yang ada malah sesudah itu terus mengendor. Tidak perlu langsung merutinkan shalat dhuha hingga 8 rakaat, kalaulah itu cuma mampu dilaksanakan 4-5 hari sesudahnya.

Mulai saja dengan yang ringan dan mudah, yaitu 2 rakaat. Insya Allah dikerjakan setiap hari pun tidak memberatkan. Hanya menghabiskan waktu 3-5 menit. Pahalanya juga dahsyat.  Dua rakaat Shalat Dhuha sudah mencukupi sedekah dengan 360 persendian. Ini disebutkan dalam beberapa hadist dengan redaksi berbeda, namun maksudnya sama.

Begitu juga tilawah Al Quran. Tidak usah langsung dipaksa habis 1 juz. Mulai saja dari 1-2 lembar. Bila sudah mampu konsisten, baru dinaikkan perlahan jumlah lembarnya.

Berbagai manfaat bisa didapat, saat sebuah amalan terus dijalankan dengan rutin, sekalipun tidak dalam jumlah yang banyak. Selain terasa makin ringan dan mudah, juga dapat mencegah datangnya rasa malas dan jenuh. Selain dari itu, tentu saja balasan pahala terus akan mengalir.

Bahkan, ajaran Islam memberi penghargaan yang sangat luar biasa bagi kaum muslimin yang merutinkan menjalankan ibadah ketaatan. Dasarnya adalah sebagaimana disebutkan dalam hadist, “Jika seseorang sakit atau melakukan safar, maka dia akan dicatat melakukan amalan sebagaimana amalan rutin yang dia lakukan ketika mukim (tidak bepergian) dan dalam keadaan sehat.” (HR. Bukhari)

Sampai seperti itu Islam mendorong semangat ummatnya untuk senantiasa disiplin menjalankan ibadah. Bayangkan, akibat merutinkan amal shaleh, saat tidak melakukannya karena alasan sakit, musafir, atau sudah tidak mampu lagi menjalankannya, yang bersangkutan tetap diganjar pahala kebaikan. Masya Allah.

Sangat bisa dipahami, diluar ibadah wajib, tidak mudah untuk disiplin menjalankan amal ibadah sunnah. dibutuhkan tekad yang kuat dan pengorbanan diri yang luar biasa. Saat musuh diluar dapat dikalahkan, ternyata lebih berat mengalahkan dan mengendalikan diri sendiri. Tapi itu tetap harus dilakukan. Jangan sampai syaitan lebih dominan mengendalikan kita.

Menyitir perkataan Al Hasan Al Bashri, ulama dari generasi tabi’in, “Jika syaitan melihatmu kontinu dalam melakukan amalan ketaatan, dia pun akan menjauhimu. Namun jika syaitan melihatmu beramal kemudian engkau meninggalkannya setelah itu, malah melakukannya sesekali saja, maka syaitan pun akan semakin tamak untuk menggodamu.”

Nah, bahaya sekali bukan? Ketidakkonsistenan ternyata dapat membahayakan diri. Bukan siapa-siapa, sikap kitalah yang ternyata membuka ruang yang lebar bagi syaitan untuk makin leluasa menggelincirkan kita menjauh dari Allah, sekaligus mencampakkan pada kebinasaan.

So, Ramadhan telah membentuk fisik dan mental kita untuk ringan menjalankan berbagai amal ibadah. Mari jadikan itu modal untuk melanjutkannya di bulan yang lain, sehingga itu menjadi kebiasaan yang menyatu pada diri kita. Wallaahu A’lam §

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *