Pernah melihat anak bayi beberapa bulan semangat menyendokkan bubur ke dalam mulut beberapa kali? Tak berhasil, lalu mencoba terus. Ia tak peduli, makanan berserak dan wajah belepotan.
Lalu, apa yang sering dilakukan orangtua? Coba bantu menyuapkan dengan berbagai alasan, diantaranya agar cepat selesai, anak kenyang, dan terutama makanan tak berserak serta bayi tidak kotor.
Padahal, kemungkinan besar, reaksi bayi adalah menangis jika sendok di tangan diambil, menggeleng saat disuap dan ternyata ia hilang kesempatan bermain dengan makanan. Padahal, hakekatnya ia sedang melatih kemandirian makan.
Lalu saat balita, perhatikanlah anak-anak yang berusia dibawah lima tahun. Hasrat bermain dan mencobanya, sangatlah besar. Menirukan apa saja yang diucap dan dilakukan oleh orang di sekitar. Mencoba memakai pakaian sendiri, walau terbalik, salah dan tak sesuai.
Mencoba cuci piring atau gelas kotornya, menuangkan deterjen sesuka hati dan senang melihat gelembung busa berserakan.
Tapi apa kecenderungan orang tua saat melihat anak melakukan itu semua ? Menegur dan melarang sebab wastafel akan becek, deterjen akan habis, air akan mubazir. Anak kehilangan momen melatih kemandiriannya. Padahal, saat itu ia lakukan, ia sedang melatih kemandirian fisik soal kebersihan serta kemandirian inisiatif atas pemikiran.
Lalu mengapa anak-anak cenderung mandiri saat di sekolah, namun sampai di rumah menjadi sangat tergantung pada orang tua? Jawabannya bisa beragam. Satu yang pasti, karena anak tahu, orang tua akan siap membantunya dalam memenuhi keperluannya. Hal ini wajar dan tak mengapa. Namun jangan sampai orang tua lena, untuk melatih anak dengan memberi tugas harian dirumah sesuai dengan kemampuan.
Ketika anak-anak baligh, banyak anak-anak kita mengalami kebingungan bahkan kegalauan dalam hal menentukan sikap dan mengambil keputusan. Mengapa hal ini terjadi ? Karena secara umum, orang tua lupa mengajak anak berdiskusi tertang berbagai hal, melatih anak melihat alternatif solusi, lalu mengambil keputusan. Semuanya pilihan orang tua, dengan alasan itu yang terbaik untuk anaknya.
Lalu bagaimana sebaiknya ? Maka perhatian utama dalam melatih kemandirian, adalah “beri anak kesempatan belajar” tentunya yang sesuai dengan perkembangan.
Lalu pada tahap usia sekolah, dampingi dan latih anak melakukan berbagai hal. Memberi tugas-tugas harian sebagai ketuntasan. Mulai yang sepele hingga berupa projek pembelajaran berfokus pada hal tertentu. Sering ajak anak berpetualang dan diskusikan hal-hal yang ditemukan.
Umumnya anak-anak yang tuntas kemandirian sebelum baligh, sedikit mengalami kerisauan dimasa sesudahnya. Sebab kemandirian fisik, mental dan fikirnya sudah terlatih.
Lalu bagaimana dengan anak yang ternyata belum mandiri fisik, mental dan fikirnya, padahal sudah akil baligh? Maka jawabannya tetap sama. Latihlah ia sebagaimana selayaknya. Karena jika orang tua tidak melatihnya, kelak kehidupanlah yang memaksa ia untuk melatih dirinya sendiri menghadapi berbagai hal.
0 Comments