Mandiri adalah keadaan yang dapat berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain (kamus KBBI). Sementara, pengertian kemandirian secara luas bermakna sikap (perilaku) dan mental yang memungkinkan seseorang untuk bertindak bebas, benar, dan bermanfaat, berusaha melakukan segala sesuatu dengan jujur dan benar atas dorongan dirinya sendiri, kemampuan mengatur diri sendiri sesuai dengan hak dan kewajibannya, sehingga dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya, serta bertanggung jawab terhadap segala keputusan yang telah diambilnya melalui berbagai pertimbangan.
Saat si bungsu saya tanyakan, “dek, apa arti mandiri menurut adek ?” jawaban singkat darinya adalah “mandi sendiri”. Hehe… Itu jawaban keluar, karena dahulu sering ia dengar, kala mau menuntaskan kemandirian dirinya dalam menjaga kesehatan diri sendiri melalui mandi. Sementara, ternyata kemandirian itu memiliki aspeknya sendiri. Baik fikir, fisik, mupun mental.
Melatih kemandirian berfikir anak itu tidak sama dengan “membiarkan” anak mengambil keputusan sendiri. Melatih kemandirian itu artinya adalah memfasilitasi anak untuk menggunakan akal sehatnya dalam menentukan pilihan untuk beberapa hal sesuai dengan perkembangannya. Dengan fasilitas akal, mendampingi anak mengukur bobot pilihan yang dipilihnya. Bobot di sini terkait dengan: apakah pilihannya itu bermanfaat atau merugikan, salah atau benar, dan baik atau buruk.
Melatih kemandirian anak dalam hal fisik tidak sama dengan memberi anak beban untuk memenuhi semua kebutuhannya tanpa bantuan orang tua. Lalu bagaimana? Melatih kemandirian fisik itu artinya adalah memfasilitasi anak untuk menggunakan kekuatan fisiknya menuntaskan hal-hal yang dibutuhkannya di keseharian secara bertahap.
Anak TK mestinya motorik dasar soal makan, mandi, berpakaian sudah bisa dilakukan. Anak SD sudah bisa mengemban tugas-tugas sederhana di rumah, dari mulai membuang sampah, menyiram tanaman, membantu membersihkan ruangan, dan seterusnya.
Melatih kemandirian anak dalam hal mental dengan menggunakan keimanan. Semua hal yang berkaitan dengan mental anak agar tetap kuat dalam menghadapi kehidupan. Misal, tidak mengapa bersedih karena gagal, tapi tidaklah membuat berputus asa dalam berupaya. Tidak mengapa merasa sendiri menjalankan ajaran kebenaran, namun tetap yakin Allah tidak akan membiarkannya sendiri. Tidak mengapa merasa bersalah, selama mau bertobat dan merubah diri.
Semua bertujuan menyeimbangkan dan menyalurkan potensi dan kemampuan yang ada pada anak. Potensi kemandirian pada tiap anak sesungguhnya telah ada sejak ia lahir. Lalu berkembang terus sejalan usia. Jadi, jika kemandirian itu tidak tampak saat anak telah baligh, sesungguhnya peran orang tuanyalah yang menumpulkannya. Wallahu a’lam
0 Comments