Sejak madrasah Jandi Meriah kembali dibuka, masyarakat menanggapinya dengan baik. Ramai warga mendaftarkan anaknya.
Mula-mula, untuk membantu menutup biaya operasional, Supiatun menetapkan sejumlah iuran rutin bagi murid. Sayangnya, saat ditagih, dari puluhan siswa, hanya tiga yang membayar.
Saat yang belum membayar ditagih ulang, besoknya mereka tidak lagi mau datang. Melihat kondisi itu, akhirnya Supiatun dan guru-guru membebaskan uang iuran alias gratis. Sesudah itu, murid kembali ramai. Bahkan makin ramai.
Awal pertemuannya dengan Ulil Albab, adalah di tahun 2013, saat fase recovery bencana erupsi Gunung Sinabung. Sesudah itu komunikasi berlanjut secara intens.
Kepada Ulil Albab, Supiatun (53), banyak bercerita tentang perjuangannya menghidupkan dan menjalankan madrasah. Ia pun berhasil meyakinkan Ulil Albab untuk mendukung aktifitasnya.
Saat Ulil Albab berkunjung, bangunan berdinding papan itu memiliki 2 kelas, yang menampung hampir 100 murid. Sebenarnya, belum layak disebut kelas, karena tidak memiliki meja dan kursi. Sering, murid belajar sambil tiduran di lantai semen. Atapnya juga banyak yang bocor.
Ditambah lagi, saat itu Gunung Sinabung sering mengeluarkan material erupsi. Debu vulkanik yang mengandung asam belerang, membuat seng madrasah rapuh. Melihat kondisi itu, untuk tahap awal, Ulil Albab membantu perbaikan sebagian atap madrasah.
Bantuan ini membuat semangat dan harapan Supiatun bangkit. Namun, ada juga terbersit juga rasa malu, “Orang luar saja mau peduli dengan kondisi madrasah itu,” gumamnya dalam hati.
Didatanginya warga kampung agar ikut membantu biaya perbaikan seng. Ternyata sambutan warga tidak seperti yang diharapkannya.
Alhamdulillah, wanita pejuang pendidikan ini tidak patah semangat. Ia bertekad untuk terus berjuang. Lama di perantauan telah menempa dirinya.
Memang, sejak SMP di tahun 1979, ia sudah meninggalkan kampungnya. Melanjutkan sekolah di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Univa Medan. Itu sejalan dengan pikiran gurunya saat di kampung, yang ketika melihat potensinya, guru itu sengaja menemui ayahnya. Membujuknya agar mengizinkan Supiatun sekolah di Medan.
“Kata guru saya kepada ayah, kelak saya akan membawa perubahan di kampung ini. Tapi musti keluar dulu,” kenang wanita ulet ini.
Tamat dari Univa, ia melanjutkan kuliah Bahasa Arab di IAIN Sumut. Di kampus itu, ia membidani pembentukan Himpunan Mahasiswa Al Washliyah asal Karo. Berharap dari organisasi itu akan terbentuk jaringan yang akan membangun Islam di Karo kelak. Itulah yang ada dibenaknya sekitar 25 tahun silam ■ Danil Junaidy Daulay
0 Comments