Supiatun, Pejuang Pendidikan Karo (1)

Mar 3, 2021 | News, Layanan Dakwah, Ulil Albab

Dulu, ia adalah guru madrasah yang berlokasi di perumahan PT Arun, Lhokseumawe, Aceh. Sebuah perusahaan gas, anak perusahaan Pertamina, yang pada tahun 90-an merupakan perusahaan penghasil LNG terbesar di dunia.

Ketika itu, selain mengajar anak-anak di madrasah, ia juga diminta mengajar ‘Kursus Haji’ dari rumah ke rumah. Murid-muridnya adalah staf perusahaan Arun. Menjadi tradisi disana, setiap yang akan berangkat haji, wajib bisa baca Qur’an. Dari aktifitas mengajar itu, penghasilan yang didapatnya sangat lumayan.

Ternyata, lama nyaman di perantauan, tidak membuat wanita asal Karo ini lupa diri. Ia tetap rindu membangun kampung halaman sendiri.

Akhirnya, setelah sekian lama, dengan berbagai pertimbangan, di tahun 2000 ia pun memutuskan kembali menetap ke kampungnya, di Desa Jandi Meriah, Kecamatan Tiganderket. Sebuah desa yang berada tepat di bawah kaki Gunung Sinabung.

Bertepatan, saat kepulangannya, SD Negeri di kampungnya membutuhkan guru. Alhamdulillah Supiatun diterima mengajar. Pertama bertemu murid-murid yang muslim, Supiatun sedih. Dilihatnya, ke-Islaman mereka memprihatinkan.

Sebenarnya, di kampung itu sudah ada bangunan madrasah. Tapi sudah lama terbengkalai. Tergerak hati Supiatun untuk membuka kembali lembaga pendiidkan itu. Selanjutnya bersama keluarga dan beberapa warga, wanita tangguh ini mulai memperjuangkan berfungsinya kembali madrasah.

Dari sisi asset, tanah madrasah merupakan wakaf masyarakat. Sementara bangunannya didirikan oleh kementerian agama.

Sejak tidak aktif, bertahun bangunan itu disewakan. Menjadi gudang penyimpanan  jagung dan alat-alat pertanian yang disewa warga. Beberapa warga menginginkan agar gedung tetap saja disewakan, sebab hasilnya lebih terasa bagi warga.

Namun, hati kecil Supiatun tidak rela. Kecintaannya pada pendidikan Islam membuat anggota Korps Da’i Pelosok (KDP) Ulil Albab itu, terus bergerak. Ia sibuk melobi warga. Meyakinkan mereka tentang pentingnya pendidikan agama, khususnya bagi anak-anak di kampung itu. Dengan dukungan banyak pihak, akhirnya disetujui bangunan itu difungsikan kembali sebagai madrasah.

Pekerjaan belum selesai. Untuk mendukung rencana pengajaran, ia mulai mengumpulkan beberapa wanita setempat, untuk ditanyai dan dimintai kesediaan membantu alias relawan mengajar. Itu perlu ditegaskannya dari awal, karena ia belum dapat memastikan sumber pendanaan untuk gaji guru.

Tiga orang bersedia jadi guru. Salah satunya adalah mantan TKW di Malaysia. “Awalnya mereka sempat minder karena hanya tamatan SMA. Saya naikkan kepercayaan diri mereka dan berhasil yakinkan bahwa murid-murid tidak akan pernah menanyakan soal ijazah,” ujar Supiatun mengenang ■ Danil Junaidy Daulay

0 Comments