Beragam cara muslim di seluruh dunia dalam menyambut Hari Raya Idul Adha. Bila di Indonesia suasana perayaan Idul Fitri lebih meriah dibanding Idul Adha, kondisi sebaliknya terjadi di negara-negara Arab dan Afrika. Muslim disana lebih lama dan lebih meriah dalam menyambut Idul Adha.
Begitu juga dengan pelaksanaan penyembelihan hewan qurban usai shalat id di 10 Dzulhijjah. Di Indonesia mayoritas masjid melaksanakan penyembelihan. Di banyak negara lain tidak seperti itu. Ada yang menetapkan aturan hanya membolehkan hanya beberapa masjid saja.
Namun, bagaimanapun suasana dan sambutannya, sangat terlihat begitu hidup syiar qurban. Termasuk yang berlangsung di pedalaman Toba, tepatnya di ujung dusun kecil bernama Hutasalem.
Sejak dua tahun silam, masyarakat yang dibina oleh dai yang akrab disapa Ustadz Hendri ini, membuat satu tradisi yang khas dan unik. Mereka bergotong royong memasak sebagian kecil daging qurban dari Program Tebar Qurban (PTQ) Ulil Albab, untuk dijadikan santapan makan siang dan malam bersama.
Kegiatan ini bertujuan menghidupkan suasana hari raya sehingga syiar Islam dapat menggema di kawasan minoritas muslim tersebut. Selain itu juga agar terbangun kebersamaan antar kaum muslimin.
Sehari sebelum lebaran, ibu-ibu sudah mulai meracik bumbu dan rempah. Kaum bapak dan anak muda membantu menyiapkan alat dan lokasi acara. Biasa diperuntukkan bagi 200-an orang.
Untuk membuat perhelatan itu, tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Syukurnya banyak bahan yang diperlukan sudah tersedia dari lingkungan sekitar; seperti serai, daun salam, santan kelapa, kunyit, jahe, dan lengkuas. Sisanya dibeli dari kas masjid serta urunan warga yang menyumbang uang dan bahan baku.
Di hari acara, kaum muslimin yang hadir tidak hanya dari daerah Hutasalem. Ada juga dari Desa Janji Maria Kecamatan Borbor, Desa Matio Kecamatan Habinsaran, dan undangan lain.
Hendri yang juga anggota Korps Da’i Pelosok (KDP) Ulil Albab, membeberkan bahwa muslim dari Janji Maria dan Matio, ikut bergabung shalat id di Hutasalem, karena tidak ada khatib sehingga masjid di desa mereka tidak melaksanakan shalat id. Padahal waktu tempuh dari desa mereka ke Hutasalem 2-3 jam.
Seusai shalat id, semua jamaah langsung berkumpul, bersiap untuk makan bersama di pelataran Masjid Istiqomah. “Kami disini beda suku. Ada Jawa, Batak, Karo, Aceh, juga Minang. Tapi Ibarat masakan, ragam bahannya tapi rasanya tetap satu,“ tandas seorang ibu ■ Widya
0 Comments