Sejak SMA, dari pengaruh bergaul dengan beberapa temannya, Riki Irawan terbawa untuk menyukai musik-musik beraliran keras, semacam punk dan metal. Bagi yang tidak biasa mendengar, kedua aliran musik itu keras dan tidak nyaman di telinga.

Sangkin suka, di tahun 1998, Riki sempat membidani lahirnya dua group musik. Pertama, Skin People, yang beraliran punk. Tidak lama berselang, lahir lagi group Green Core, yang beraliran metal. Saat di panggung, pemuda ramah ini biasa berposisi sebagai basis.

Di dunia musik inilah ia mulai mengenal aneka hal negatif.  Baik terkait pergaulan dan perangkat pendukungnya. Hal yang lumrah, baik bagi pemusik maupun pendengarnya. Akibat larut dalam hal seperti itu, dua kali ia mengalami peristiwa yang mendekatkannya pada kematian.

Pengalaman pertama tak membuatnya jera. Dirinya masih menikmati musik cadas. Hingga akhirnya, pada peristiwa kedua di tahun 2003, kembali nyawanya hampir tercabut.

Saat tak sadarkan diri, jarum infus telah terpasang di lengan tangannya. Berbagai obat medis disuntikkan ke dalam tubuhnya. Keluarga hanya bisa menangis dan berdo’a disamping tubuh kakunya.

Dalam keadaan koma, samar ia mendengar bisikan, “Ini kesempatan kedua. Sekali lagi, kamu pasti game (baca;mati),” ujarnya mengenang. Alhamdulillah, setelah dirawat beberapa hari, nyawanya terselamatkan.

Peristiwa itu menjadi titik balik bagi kehidupannya. Ia tersadarkan. Walau ia merasakan, betapa tarikan kebiasaan lama masih kuat mempengaruhinya. Namun, ia tanamkan tekad untuk benar-benar lepas dan menjauh dari dunia lamanya.

Riki memulainya dengan memutus mata rantai pertemanan. Ia memutuskan untuk merantau ke Malaysia. Memulai lembaran hidup baru. Bekerja apa saja yang memungkinkan dikerjakannya.

Awalnya, ia ikut saudaranya menjual kue dan kelapa di dekat Pelabuhan Klang, Selangor. Beberapa lama dijalani, ia merasa pekerjaan itu kurang sesuai. Ia berpikir untuk pindah dan mencari kerja ke Melaka.

Tidak lama, ia benar-benar pindah. Tiba di negeri Hang Tuah, ia diterima bekerja di bidang gardening. Membabat rumput, merawat bunga dan taman. Ia menikmati pekerjaan baru itu. Apalagi, melihat tanaman hijau, serasa menjadi terapi baginya. Ia rasakan dirinya lebih tenang. Riki bertahan 2 tahun di negara jiran.

Setelah merasa pulih dan punya sedikit modal, ia memutuskan untuk balik ke Medan. Sayang, warga  kampungnya di Kelurahan Sari Rejo Medan Polonia, sudah terlanjur memberinya cap negatif. Mereka belum dapat menerima kehadiran Riki, yang dulunya dianggap biang kerusuhan di sana.

Melihat situasi itu, ia pun memutuskan mencari tempat tinggal di kelurahan lain, namun masih di kecamatan yang sama. Agar pengaruh lama tidak lagi meracuninya, ia pun selektif memilih teman.

Pengajian mulai rutin didatanginya di berbagai masjid. Berbagai training ke-Islaman diikutinya. Hingga ia pun mulai pede untuk berdakwah dan membina anak-anak muda di kampungnya.

Tahun 2017 ia digandeng sebuah lembaga zakat serta ditugaskan membina warga di sebuah desa di Karo. Selesai penugasan itu, Ulil Albab menggandengnya untuk bertugas di di Desa Sarilaba, Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang. Di lokasi itu masih banyak muallaf yang sangat perlu pendampingan.

Hingga kini, sudah 2 tahun ia disana. Riki rutin mengisi pengajian remaja, perwiritan ibu-ibu dan bapak-bapak, menjadi khatib Jum’at, hingga menjadi bilal mayit.

Bertahun silam, semua aktifitas itu tak pernah terlintas di benaknya. Takdir memaksanya melakoni itu. Bersyukur, Riki menjalaninya dengan ringan. Bahkan di tengah kesibukannya, ia masih sempat mengajar di madrasah swasta dan SD Negeri, sebagai guru honor.

“Semoga ini jalan saya menebus kelamnya masa silam,” ujarnya di akhir perbincangan ■

0 Comments