Ia tergerak untuk turun membina anak-anak, karena kekhawatiran melihat betapa semakin tergerusnya nilai-nilai Islam di kampungnya. Dekadensi moral juga menjadi hal yang dianggap lumrah. Kasus menikah setelah “kecelakaan” sangat mudah dijumpai.

Belum lagi, di kampung tempat tinggal Daeng, beroperasi 3 kedai tuak. Sayangnya, penjualnya beragama Islam! Sementara narkoba, juga penjualannya merajalela.

Dari segi akidah, masih banyak masyarakat yang melanggar syariat, misal dengan meletakkan sesajenan di perempatan jalan di tengah kampung, guna menghormati arwah-arwah pembuka desa tersebut.

Berbagai permasalahan itu, membuat pria asal Bugis ini tidak ingin tinggal diam. Ia bertekad untuk turut memperbaikinya. Terhitung, sudah 5 tahun, beserta istrinya yang muallaf, ia membuka pengajian iqra dan Quran di rumahnya yang sederhana. Alhamdulillah, di keluarga istrinya, ia juga sudah berhasil meng-Islamkan kakak dan adik iparnya.

Dari awalnya 6 anak, kini murid mengajinya sudah berjumlah 80 orang. Semua murid tidak dikutip bayaran apapun, alias gratis.

Sebenarnya, rumahnya sudah tidak memungkinkan lagi untuk menampung proses belajar. Apalagi, ruang dapurnya pun sudah dipakai jadi tempat belajar. Tapi, mereka belum memiliki alternatif.

Tidak hanya memperhatikan urusan mengaji, Daeng juga rutin mengajak muridnya untuk shalat ke masjid. Bahkan, untuk memancing semangat anak-anak agar mau shalat jum’at ke masjid, tidak jarang ia mengeluarkan uang dari kantong pribadi untuk dibelikan jajanan yang akan dibagikan pada anak-anak.

0 Comments