Saat itu Farhan bertugas menjadi khatib Jumat di Masjid Al-Mukarramin Balefadorotuho, Nias Utara. Sama seperti yang terlihat di banyak masjid, di kota atau desa, beberapa jamaah mengobrol sesama mereka. Persis saat ia menyampaikan khutbah.
Bersahutan terdengar suara berisik dari barisan jamaah paling belakang. Mulai pertengahan khutbah sampai akhir. Sampai akhirnya terdengar teriakan dari salah satu jamaah, “oh iya bagus”.
Bersyukur Farhan sangat bijak, dengan tidak langsung menegur jamaah itu. Selesai melaksanakan shalat Jum’at, ia berdialog dengan para jamaah, guna menjelaskan peristiwa yang baru terjadi saat khutbah berlangsung.
“Ulama Syafi’iyyah menegaskan bahwa berbicara saat khutbah bagi jamaah Jum’at hukumnya makruh,” jelasnya kepada jamaah. Nabi Muhammad SAW juga bersabda, “Jika kamu katakan kepada temanmu, “diamlah!”, di hari Jum’at saat khatib berkhutbah, sungguh kamu telah berkata sia-sia,” tambahnya.
Da’i muda yang memasuki tahun ketiga bergabung dalam Korps Da’i Pelosok (KDP) Ulil Albab ini, banyak bercerita tentang tugas beratnya membina kaum muslimin di Balefadorotuho, serta beberapa lain di sekitar Nias Utara.
Ia sadar, kejadian berbicara saat khutbah itu, bukanlah disengaja. Tetapi lebih kepada pemahaman sebagian warga yang menganggap ibadah Jum’at sama seperti pengajian wirid yasin pada malam Jum’at.
“Pembinaan muslim disini masih kurang. Disamping juga minat warga belajar Islam juga kurang. Apalagi adat disini sangat ketat. Ketika seseorang sudah diangkat sebagai orang yang dituakan, maka otomatis segala kegiatan harus sepengetahuannya. Termasuk urusan syariat. Jadi, bila beliau melihat hal baru di luar kebiasaan, biasa spontan tercetus ucapan “ajaran darimana kamu dapat?” terang Farhan.
Jumlah jamaah Al-Mukarramin sekitar 200 keluarga. Mata pencaharian mereka kebanyakan nelayan. Keseharian mereka banyak dihabiskan di laut. Tidak heran, alokasi belajar ilmu agama di masjid juga minim. Masjid kebanyakan hanya digunakan sebagai tempat shalat.
Mau tidak mau, pria berdarah Nias itu harus banyak bersabar membimbing mereka. “Sikap tidak mau tahu dan keawaman warga harus kita imbangi dengan sikap bijak. Saya harus selalu berusaha mikir strategi baru untuk mengisi kekosongan ilmu mereka. Apalagi disini kita minoritas,” tutup da’i bernama lengkap Farhan Salam Zega itu ■
0 Comments